Minggu, 25 September 2011

sejarah kota padang

SEJARAH DI MINANGKABAU
------------------------------------------------------------------------------
RUMAH GADANG, UKIRAN, DAN RANGKIANG
Rumah gadang merupakan rumah adat Minangkabau. Rumah gadang ini mempunyai ciri-ciri yang sangat khas. Bentuk dasarnya adalah balok segi empat yang mengembang ke atas. Garis melintangnya melengkung tajam dan landai dengan bagian tengah lebih rendah. Lengkung atap rumahnya sangat tajam seperti tanduk kerbau, sedangkan lengkung badan dan rumah landai seperti badan kapal. Atap rumahnya terbuat dari ijuk. Bentuk atap yang melengkung dan runcing ke atas itu disebut gonjong. Karena atapnya membentuk gonjong, maka rumah gadang disebut juga rumah bagonjong.
Asal usul bentuk rumah gadang
Bentuk atap rumah gadang yang seperti tanduk kerbau sering dihubungkan dengan cerita Tambo Alam Minangkabau. Cerita tersebut tentang kemenangan orang Minang dalam peristiwa adu kerbau melawan orang Jawa.
Bentuk-bentuk menyerupai tanduk kerbau sangat umum digunakan orang Minangkabau, baik sebagai simbol atau pada perhiasan. Salah satunya pada pakaian adat, yaitu tingkuluak tanduak (tengkuluk tanduk) untuk Bundo Kanduang.
Asal-usul bentuk rumah gadang juga sering dihubungkan dengan kisah perjalanan nenek moyang Minangkabau. Konon kabarnya, bentuk badan rumah gadang Minangkabau yang menyerupai tubuh kapal adalah meniru bentuk perahu nenek moyang Minangkabau pada masa dahulu. Perahu nenek moyang ini dikenal dengan sebutan lancang.
Menurut cerita, lancang nenek moyang ini semula berlayar menuju hulu Batang Kampar. Setelah sampai di suatu daerah, para penumpang dan awak kapal naik ke darat. Lancang ini juga ikut ditarik ke darat agar tidak lapuk oleh air sungai.
Lancang kemudian ditopang dengan kayu-kayu agar berdiri dengan kuat. Lalu, lancang itu diberi atap dengan menggantungkan layarnya pada tali yang dikaitkan pada tiang lancang tersebut. Selanjutnya, karena layar yang menggantung sangat berat, tali-talinya membentuk lengkungan yang menyerupai gonjong. Lancang ini menjadi tempat hunian buat sementara. Selanjutnya, para penumpang perahu tersebut membuat rumah tempat tinggal yang menyerupai lancang tersebut. Setelah para nenek moyang orang Minangkabau ini menyebar, bentuk lancang yang bergonjong terus dijadikan sebagai ciri khas bentuk rumah mereka. Dengan adanya ciri khas ini, sesama mereka bahkan keturunannya menjadi lebih mudah untuk saling mengenali. Mereka akan mudah mengetahui bahwa rumah yang memiliki gonjong adalah milik kerabat mereka yang berasal dari lancang yang sama mendarat di pinggir Batang Kampar.
Bagian-bagian dalam Rumah Gadang Minangkabau
Rumah adat Minangkabau dinamakan rumah gadang adalah karena ukuran rumah ini memang besar. Besar dalam bahasa Minangkabau adalah gadarig. Jadi, rumah gadang artinya adalah rumah yang besar. Bagian dalam rumah gadang merupakan ruangan lepas, kecuali kamar tidur. Ruangan lepas ini merupakan ruang utama yang terbagi atas lanjar dan ruang yang ditandai oleh tiang. Tiang rumah gadang berbanjar dari muka ke belakang atau dari kiri ke kanan. Tiang yang berbanjar dari depan ke belakang mbnandai lanjar, sedangkan tiang dari kini ke kanan menandai ruang. Jadi, yang disebut lanjar adalah ruangan dari depan ke belakang. Ruangan yang berjajar dari kiri ke kanan disebut ruang.
Jumlah lanjar tergantung pada besar rumah. Biasanya jumlah lanjar adalah dua, tiga clan empat. Jumlah ruangan biasanya terdiri dari jumlah yang ganjil antara tiga dan sebelas. Ukuran rumah gadang tergantung kepada jumlah lanjarnya.
Sebagai rumah yang besar, maka di dalam rumah gadang itu terdapat bagian-bagian yang mempunyai fungsi khusus. Bagian lain dari rumah gadang adalah bagian di bawah lantai. Bagian ini disebut kolong dari rumah gadang. Kolong rumah gadang cukup tinggi dan luas. Kolong ini biasanya dijadikan sebagai gudang alat-alat pertanian atau dijadikan sebagai tempat perempuan bertenun. Seluruh bagian kolong ini ditutup dengan ruyung yang berkisi-kisi jarang.
Dinding rumah gadang terbuat dari kayu, kecuali bagian belakang yang dari bambu. Dinding papan dipasang vertikal. Pada setiap sambungan papan diberi bingkai. Semua papan tersebut dipenuhi dengan ukiran. Kadang-kadang tiang yang ada di dalam juga diukir. Sehingga, ukirang merupakan hiasan yang dominan dalam bangunan rumah gadang Minangkabau. Ukiran disini tidak dikaitkan dengan kepercayaan yang bersifat sakral, tetapi hanya sebagai karya seni yang bernilai hiasan.
Ukiran Rumah
Jenis ukiran Rumah Gadang tersebut terdiri atas:
Keluk Paku

Ditafsirkan anak dipangku kemenakan dibimbing. 

Pucuk Rebung 

Ditafsirkan kecil berguna , besar terpakai. 

Seluk Laka 

Ditafsirkan kekerabatan saling berkaitan.

Jala 

Ditafsirkan pemerintahan Bodi Caniago.

Jerat 

Ditafsirkan pemerintahan Koto Pialang.

Itik pulang petang 

Ditafsirkan ketertiban anak kemenakan.

Sayat Gelamai 

Ditafsirkan ketelitian. 

Sikumbang manis 

Ditafsirkan keramah tamahan. 
Dinding belakang disebut Dinding Sasak, karena pada masa lalu terbuat dari bambu yang dianyam, dinding depan dan samping terbuat dari kayu serta diukir. Berdirinya Rumah Gadang harus dilengkapi dengan Rangkiang atau Lumbung Padi, terletak dihalaman depan dan samping, yang berfungsi sosial dan ekonomi.
Rangkiang Minangkabau
Setiap rumah gadang di Minangkabau mempunyai rangkiang. Rangkiang adalah bangunan yang merupakan tempat menyimpan padi milik kaum. Rangkiang ini tegak berjejer di halaman depan rumah. Bentuk rangkiang sesuai dengan gaya bangunan rumah gadang. Atap rangkiang juga memiliki gonjong dan terbuat dari ikuk. Rangkiang memiliki pintu kecil yang terletak di bagian atas dari salah satu dinding singkok (singkap). Dinding singok adalah dinding segitiga pada bagian loteng dari rangkiang tersebut. Untuk naik ke rangkiang digunakan tangga yang terbuat dari bambu. Tangga ini dapat dipindahkan, bila tidak digunakan maka tangga ini disimpan di bawah kolong rumah gadang.
Bentuk dan jenis rangkiang tersebut antara lain:
Sitinjau Lauik
Digunakan sebagai tempat menyimpan padi untuk dijual bagi keperluan bersama atau pos pengeluaran adat. Bentuknya langsing, bergonjong dan berukir dengan empat tiang, letaknya ditengah.
Sibayau-bayau
Digunakan untuk menyimpan padi makanan sehari-hari. Bentuknya gemuk, bergonjong dan berukir dengan 6 tiang letaknya dikanan.
Sitangguang Lapa / Sitangka lapa
Digunakan untuk menyimpan padi untuk musim kemarau dan membantu masyarakat miskin. Bentuknya bersegi, bergonjong dan berukir dengan 4 tiang , letaknya sebelah kiri.
Kaciak / Kecil
Digunakan untuk menyimpan padi bibit dan untuk biaya mengolah sawah. Bentuknya bundar, berukir dan tidak bergonjong, letaknya diantara ketiga rangkaian tersebut.

Jumat, 23 September 2011

Sejarah KOTA PADANG

Image Kota Padang adalah salah satu Kota tertua di pantai barat Sumatera di Lautan Hindia. Menurut sumber sejarah pada awalnya (sebelum abad ke-17) Kota Padang dihuni oleh para nelayan, petani garam dan pedagang. Ketika itu Padang belum begitu penting karena arus perdagangan orang Minang mengarah ke pantai timur melalui sungai-sungai besar. Namun sejak Selat Malaka tidak lagi aman dari persaingan dagang yang keras oleh bangsa asing serta banyaknya peperangan dan pembajakan, maka arus perdagangan berpindah ke pantai barat Pulau Sumatera.
          Suku Aceh adalah kelompok pertama yang datang setelah Malaka ditaklukkan oleh Portugis pada akhir abad ke XVI. Sejak saat itu Pantai Tiku, Pariaman dan Inderapura yang dikuasai oleh raja-raja muda wakil Pagaruyung berubah menjadi pelabuhan-pelabuhan penting karena posisinya dekat dengan sumber-sumber komoditi seperti lada, cengkeh, pala dan emas.
           Kemudian Belanda datang mengincar Padang karena muaranya yang bagus dan cukup besar serta udaranya yang nyaman dan berhasil menguasainya pada Tahun 1660 melalui perjanjian dengan raja-raja muda wakil dari Pagaruyung. Tahun 1667 membuat Loji yang berfungsi sebagai gudang sekaligus tangsi dan daerah sekitarnya dikuasai pula demi alasan keamanan.
Selanjutnya :
7 Agustus 1669,
puncak pergolakan masyarakat Pauh dan Koto Tangah melawan Belanda dengan menguasai Loji-Loji Belanda di Muaro, Padang. Peristiwa tersebut diabadikan sebagai tahun lahir kota Padang.
20 Mei 1784
Belanda menetapkan Padang sebagai pusat kedudukan dan perdagangannya di Sumatera Barat. Padang menjadi lebih ramai setelah adanya Pelabuhan Teluk Bayur.
31 Desember 1799.
Seluruh kekuasaan VOC diambil alih pemerintah Belanda dengan membentuk pemerintah kolonial dan Padang dijadikan pusat kedudukan Residen.

1 Maret 1906.
Lahir ordonansi yang menetapkan Padang sebagai daerah Cremente (STAL 1906 No.151) yang berlaku 1 April 1906.

9 Maret 1950.
Padang dikembalikan ke tangan RI yang merupakan negara bagian melalui SK. Presiden RI Serikat (RIS), No.111 tanggal 9 Maret 1950.

15 Agustus 1950.
SK. Gubernur Sumatera Tengah No. 65/GP-50, tanggal 15 Agustus 1950 menetapkan Pemerintahan Kota Padang sebagai suatu daerah otonom sementara menunggu penetapannya sesuai UU No. 225 tahun 1948. Saat itu kota Padang diperluas, kewedanaan Padang dihapus dan urusannya pindah ke Walikota Padang.

29 Mei 1958.
SK. Gubernur Sumatera Barat No. 1/g/PD/1958, tanggal 29 Mai 1958 secara de facto menetapkan kota Padang menjadi ibukota propinsi Sumatera Barat.

Tahun 1975
Secara de jure Padang menjadi ibukota Sumatera Barat, yang ditandai dengan keluarnya UU No.5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, dengan Kotamadya Padang dijadikan daerah otonom dan wilayah administratif yang dikepalai oleh seorang Walikota.*
Pada awalnya luas Kota Padang adalah 33 Km2, yang terdiri dari 3 Kecamatan dan 13 buah Kampung, yaitu Kecamatan Padang Barat, Padang Selatan dan Padang Timur. Dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 dan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1980 tanggal 21 Maret 1980 wilayah Kota Padang menjadi 694,96 Km2, yang terdiri dari 11 Kecamatan dan 193 Kelurahan. Dengan dicanangkannya pelaksanaan otonomi daerah sejak Tanggal 1 Januari 2001, maka wilayah administratif Kota Padang dibagi dalam 11 Kecamatan dan 103 Kelurahan. Dengan Keluarnya Peraturan Daerah Kota Padang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Pembentukan organisasi Kelurahan Maka jumlah Kelurahan di Kota Padang menjadi 104 Kelurahan.

kisah malin kundang dari sumatera barat

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiXdkhhKC80HHBwVqfhgUjKlk4DZysOARV1Vm8mUqQJbEMc5BpkJnUj2nBwsP-_orMRIKtsbOARt7tVEfXM27RGUia1jfGM51N3u6-7pmDPUsg5RFGv9x4HOz__LY4K9Z-6_ePCq2FOXCY/s1600/malin_kundang.jpg

Malin Kundang ialah cerita rakyat yang berasal dari provinsi Sumatra Barat, Indonesia. Legenda Malin Kundang mengisahkan tentang seorang anak yang durhaka kepada ibunya, sehingga dia dikutuk menjadi batu. Bentuk batu yang sampai saat ini masih ada di pantai Air Manis, Padang, konon katanya merupakan sisa-sisa kapal Malin Kundang.


Alkisah, Malin Kundang termasuk anak yang cerdas, tetapi sedikit nakal. Ia sering mengejar ayam dan memukulnya dengan sapu. Suatu hari, ketika Malin sedang mengejar ayam, ia tersandung batu dan lengan kanannya pun terluka terkena batu. Luka tersebut berbekas dilengannya dan tidak bisa hilang.

Karena merasa kasihan dengan ibunya yang banting tulang mencari nafkah untuk membesarkan dirinya, Malin pun memutuskan untuk pergi merantau agar dapat menjadi kaya raya setelah kembali ke kampung halamannya kelak.

Awalnya, Ibu Malin Kundang kurang setuju, mengingat suaminya juga tidak pernah kembali setelah pergi merantau. Akan tetapi, Malin tetap bersikeras, sehingga akhirnya dia rela melepas Malin pergi merantau dengan menumpang kapal seorang saudagar.

Selama berada di kapal, Malin Kundang banyak belajar tentang ilmu pelayaran pada anak buah kapal yang sudah berpengalaman. Karena kecerdasannya, Malin dengan cepat menangkap apa saja pelajaran yang di dapatkannya tersebut.


Di tengah perjalanan, tiba-tiba kapal yang dinaiki Malin Kundang di serang oleh bajak laut. Semua barang dagangan para pedagang yang berada di kapal dirampas oleh bajak laut. Bahkan sebagian besar awak kapal dan orang yang berada di kapal tersebut, dibunuh oleh para bajak laut.

Beruntung Malin Kundang ketika kejadian itu berlangsung, sempat bersembunyi pada sebuah ruang kecil yang tertutup oleh kayu, sehingga Malin pun lolos dan tidak dibunuh oleh para bajak laut.


Malin Kundang terkatung-katung ditengah laut, hingga akhirnya kapal yang ditumpanginya terdampar di sebuah pantai. Dengan tenaga yang tersisa, Malin Kundang berjalan menuju ke desa yang terdekat dari pantai.

Desa tempat Malin terdampar adalah desa yang sangat subur. Dengan keuletan dan kegigihannya dalam bekerja, Malin lama kelamaan berhasil menjadi seorang yang kaya raya dari hasil usahanya tersebut.

Ia memiliki banyak kapal dagang dengan anak buah yang jumlahnya lebih dari 100 orang. Setelah menjadi kaya raya, Malin Kundang akhirnya mempersunting seorang gadis untuk menjadi istrinya.


Berita Malin Kundang yang telah menjadi kaya raya dan telah menikah, sampai juga kepada ibu Malin Kundang. Ibu Malin Kundang merasa bersyukur dan sangat gembira atas keberhasilan yang diraih anaknya. Sejak saat itu, ibu Malin setiap hari pergi ke dermaga, menantikan anaknya yang mungkin pulang ke kampung halamannya.

Setelah beberapa lama menikah, Malin dan istrinya melakukan pelayaran disertai anak buah kapal serta pengawalnya yang banyak. Ibu Malin yang melihat kedatangan kapal itu ke dermaga, memperhatikan dua orang yang sedang berdiri di atas geladak kapal. Ia yakin, kalau yang sedang berdiri itu adalah anaknya Malin Kundang beserta istrinya.

Ibu Malin pun menuju ke arah kapal. Setelah cukup dekat, ibunya melihat bekas luka dilengan kanan orang tersebut, semakin yakinlah ibunya bahwa yang ia dekati adalah Malin Kundang. “Malin Kundang, anakku, mengapa kau pergi begitu lama tanpa mengirimkan kabar, nak?” katanya sambil memeluk Malin Kundang.

Akan tetapi, melihat wanita tua yang berpakaian lusuh dan kotor memeluknya seperti itu, maka timbul kesombongan dari diri Malin Kundang, dia sangat marah meskipun ia mengetahui, bahwa wanita tua itu adalah ibu kandungnya. Dia malu bila hal ini diketahui oleh istrinya dan juga para anak buahnya.


Mendapat perlakukan seperti itu dari anaknya, ibu Malin Kundang pun tidak kalah sangat marahnya. Ia tidak menduga anaknya menjadi anak yang sombong dan durhaka. Karena kemarahannya yang memuncak, ibu Malin menyumpah anaknya, “Oh Tuhan, kalau benar ia anakku, aku sumpahi dia menjadi batu!”

Tidak berapa lama kemudian dari kejadian itu, Malin Kundang kembali pergi berlayar meninggalkan ibunya yang penuh dengan duka dan amarah. Dan ketika ditengah perjalanan, maka datanglah badai dahsyat dan menghancurkan kapal Malin Kundang.

Setelah itu, tubuh Malin Kundang pun secara perlahan menjadi kaku dan lama-kelamaan akhirnya berbentuk menjadi sebuah batu karang. Tuhan telah mengabulkan doa ibu Malin Kundang yang telah sangat berduka karena kedurhakaan anaknya.

Sampai saat ini, Batu Malin Kundang masih dapat dilihat di sebuah pantai bernama pantai Aia Manih, di selatan kota Padang, Sumatera Barat

pengunjung

free counters

Mengenai Saya

Foto saya
indahnya berbagi,,,,,,,,,,,,,,,,

  © Blogger templates 'Neuronic' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP